Namanya Nimo. Sulit untuk melupakan kebaikan dirinya. "Tuhan itu nomor
satu, jadi kalo sudah waktunya untuk berdoa, lakukan!" Itu yang selalu
dia bilang. Orangnya tidak banyak bicara. Sedikit pemalu. Tapi dia
selalu bicara jujur dan terbuka. Siapa sangka, bahwa Nimo pernah
mencintai diri ini sebegitu tulusnya. Pernah? Atau masih?
Bukan karena tidak mencintainya juga tapi karena satu hal dan diikuti hal lainnya, hati atas perintah logika memutuskan untuk tidak menjalin hubungan cinta dengannya. Alasan yang masuk akal adalah prinsip dan keyakinan kami yang paling mendasar berbeda. Tak ada kesempatan untuknya, bahkan diri ini tak berani mengambil resiko sebesar itu.
Hidup berlanjut, bahkan setelah berbulan-bulan kami tetap berteman baik. Suatu hari ia datang membawa kabar tentang pertunangannya. Hati ini pun berbahagia untuknya. Anehnya, ada perasaan cemburu disana.
Kehadirannya selalu membuat hati ini senang. Dia yang selalu marah saat hati ini dilukai lelaki lain. Dia yang selalu mengingatkan untuk menjaga diri sebaik-baiknya. Dia yang tidak pernah lelah mendengar keluh kesah diri ini. Ada kebahagiaan tak terungkap saat kami berbagi cerita.
Saat hati ini ditawarkan kembali padanya. Dia terdiam lama. Hanya memandang dengan tatapan sayangnya. "Sudah terlambat.." dia bilang, "Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Aku paham. Aku pun terdiam. Berusaha keras menahan air mata yang memaksa untuk keluar.
Setelah kesunyian panjang, dia berkata, "Seandainya saja aku belum mengucap janji untuk menikahinya.. Seandainya aku belum berjanji kepada keluarganya.."
Dia masih juga mempertanyakan kenapa dahulu aku tak mengizinkannya memiliki diriku. Dia bilang sebetulnya hatinya sangat sakit atas penolakanku. Dia menangis saat penolakan itu. Dia tidak pernah memberitahukanku. Dia juga paham, tidak mungkin kami berdua mampu melawan keluarga, budaya dan jarak yang membentang dihadapan kami. Saat itu dia berharap setidaknya kami bisa mencobanya terlebih dahulu. Dia bilang tidak gampang mengungkapkan cinta terhadap seseorang karena mengungkapkan cinta itu sama dengan memberi janji. Dia menawarkan janji kebahagiaan itu kepadaku untuk selalu bahagia bersamanya sampai tua nanti. Tapi kesempatan itu berlalu begitu saja. Bukan dia tidak berusaha meyakinkanku, hanya saja dia tidak mau memaksaku. Dia berjanji pada dirinya sendiri, sebagai sahabat dia akan selalu membuat aku tertawa. Dia juga bilang, tawaku membawa semangat untuknya. Sekarang ia akan menikah dengan wanita lain yang mulai ia cintai dan juga mencintainya, tapi kenapa masih ada aku dalam hatinya? Dia juga bilang bahwa dia bisa saja melupakan janjinya dan mengecewakan banyak orang untukku. Tapi apa itu yang aku mau?
Bukan karena tidak mencintainya juga tapi karena satu hal dan diikuti hal lainnya, hati atas perintah logika memutuskan untuk tidak menjalin hubungan cinta dengannya. Alasan yang masuk akal adalah prinsip dan keyakinan kami yang paling mendasar berbeda. Tak ada kesempatan untuknya, bahkan diri ini tak berani mengambil resiko sebesar itu.
Hidup berlanjut, bahkan setelah berbulan-bulan kami tetap berteman baik. Suatu hari ia datang membawa kabar tentang pertunangannya. Hati ini pun berbahagia untuknya. Anehnya, ada perasaan cemburu disana.
Kehadirannya selalu membuat hati ini senang. Dia yang selalu marah saat hati ini dilukai lelaki lain. Dia yang selalu mengingatkan untuk menjaga diri sebaik-baiknya. Dia yang tidak pernah lelah mendengar keluh kesah diri ini. Ada kebahagiaan tak terungkap saat kami berbagi cerita.
Saat hati ini ditawarkan kembali padanya. Dia terdiam lama. Hanya memandang dengan tatapan sayangnya. "Sudah terlambat.." dia bilang, "Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Aku paham. Aku pun terdiam. Berusaha keras menahan air mata yang memaksa untuk keluar.
Setelah kesunyian panjang, dia berkata, "Seandainya saja aku belum mengucap janji untuk menikahinya.. Seandainya aku belum berjanji kepada keluarganya.."
Dia masih juga mempertanyakan kenapa dahulu aku tak mengizinkannya memiliki diriku. Dia bilang sebetulnya hatinya sangat sakit atas penolakanku. Dia menangis saat penolakan itu. Dia tidak pernah memberitahukanku. Dia juga paham, tidak mungkin kami berdua mampu melawan keluarga, budaya dan jarak yang membentang dihadapan kami. Saat itu dia berharap setidaknya kami bisa mencobanya terlebih dahulu. Dia bilang tidak gampang mengungkapkan cinta terhadap seseorang karena mengungkapkan cinta itu sama dengan memberi janji. Dia menawarkan janji kebahagiaan itu kepadaku untuk selalu bahagia bersamanya sampai tua nanti. Tapi kesempatan itu berlalu begitu saja. Bukan dia tidak berusaha meyakinkanku, hanya saja dia tidak mau memaksaku. Dia berjanji pada dirinya sendiri, sebagai sahabat dia akan selalu membuat aku tertawa. Dia juga bilang, tawaku membawa semangat untuknya. Sekarang ia akan menikah dengan wanita lain yang mulai ia cintai dan juga mencintainya, tapi kenapa masih ada aku dalam hatinya? Dia juga bilang bahwa dia bisa saja melupakan janjinya dan mengecewakan banyak orang untukku. Tapi apa itu yang aku mau?
Aku menangis mendengar pengakuannya. Dada ini terasa sangat sesak. Apa yang telah aku lakukan? Menyia-nyiakan lelaki baik ini tanpa memberinya kesempatan? Dan sekarang menyesal karena memang dia sangat baik. Tapi sudah tidak mungkin lagi dimiliki. Dia ikut menangis bersamaku dalam diam.
Saat kusadari bahwa dia menangis karena aku menangis, dengan cepat kuhapus air mataku dan tersenyum padanya dan berkata, "Aku ikut berbahagia untukmu. Aku minta maaf karena menawarkan hati ini lagi untukmu. Semua sudah lewat. Tapi lihat Nimo, betapa hebatnya kita menjalani semua ini. Tuhan kita pasti bangga bahwa kita berdua lebih mencintaiNya daripada mencintai hubungan kita sendiri. Ini baik untuk kita. Kita tidak harus menjadi anak yang akan melawan orang tua karena keinginan kita yang belum tentu mudah untuk dikabulkan. Jangan khawatirkan aku, aku akan bahagia pada waktunya. Cinta dari sahabatku Nimo akan selalu membuatku bahagia."
Aku masih tersenyum padanya. Sampai ia menghilang dari pandangan mata. Aku kembali merasakan pilu di dadaku. Aku menangis lagi. Ya aku menyesal. Namun memang selalu ada beberapa prinsip yang tidak bisa dikompromikan. Terima kasih Tuhan atas cinta Nimo untukku :)
#30Hari Lagu Ku Bercerita: Marcell - Peri CintaKu
No comments:
Post a Comment