Pagi ini, aku terbangun dengan rasa lelah dan sesak di dadaku.
Tapi juga aku merasakan kehangatan jauh di dalam hatiku.
Semalam aku dapat melihat diriku sendiri dalam mimpi. Aku terbaring diam di
atas ranjang menatapmu yang duduk di lantai dihadapanku. Kamu juga tidak bicara
satu patah kata pun. Kamu mengistirahatkan tubuhmu ke lemari yang ada di
belakangmu. Kamu menatapku tajam. Tatapan yang seolah akan membunuhku dengan
pesonanya. Tapi aku yakin kamu tidak sedang marah, karena walau begitu, kamu
masih tersenyum kepadaku. Dalam hati, aku sangat marah. Mau apalagi kamu
datang? aku tidak mau bicara apapun denganmu. Sakit yang dulu ku rasakan
kembali menikam jantungku. Saat sudah tak sanggup lagi bertatapan denganmu, aku
membalikan tubuhku, berbaring membelakangimu. Namun yang terjadi adalah kamu
malah berbaring dibelakangku. Masih dalam diam kamu memelukku dengan sangat
erat. Aku sangat marah saat itu. Rasanya ingin berteriak dan mencakarmu.
Rasanya ingin melepaskan diri sesegera mungkin darimu. Tapi semua itu tidak aku
lakukan. Aku malah menggenggam jemarimu. Aku menarikmu untuk memelukku lebih
erat lagi. Berharap dengan begitu bisa melenyapkan sakit yang kurasakan. Saat kamu
merasakan air mataku yang jatuh di lenganmu. Kamu membalikan tubuhku, memaksa
mataku untuk kembali menatapmu. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja kita
berciuman dengan penuh kerinduan. Tidak ada kesempatan untuk melepaskan diriku
darimu. Aku terseret dalam gelombang kenikmatan dan aku begitu terhanyut di
dalamnya. Ciuman yang sungguh sangat terasa nyata.
Sampai tiba-tiba aku tersadar. Ini salah. Sebesar apapun aku menginginkanmu.
Ini tetap salah. Aku bangun dan berjalan menjauhimu. Sudah pasti aku menatapmu
dengan penuh kebencian. Terlebih aku membenci diriku sendiri. Tembok yang aku
bangun tinggi untuk melupakanmu runtuh dalam sekejap mata. Kamu menatapku penuh
penyesalan. Tapi Aku sungguh tidak bisa membaca pikiranmu. Apa yang saat itu
ada dalam benakmu? Kamu berdiri dan berjalan mendekatiku. Aku yang sudah tidak
mau lagi didekatimu berjalan menghindar. Tapi kamu tidak mengejar. Hanya
tatapan heranmu yang mengikuti gerakku. Masih tidak ada kata yang terucap. Kamu
tersenyum. Senyum yang masih menghangatkan hatiku. Lalu kamu pergi meninggalkanku.
Kamu hanya berucap pelan sesaat.. "Keretaku akan segera berangkat."
Aku masih diam termenung. Seharusnya aku tidak membencimu seperti itu. Dalam
hati, aku tidak membencimu. Lalu kenapa aku bersikap seperti itu? Kalo memang
ada yang mau disalahkan harusnya aku orangnya, bukan kamu. Aku begitu marah
dengan diriku sendiri. Harusnya aku bisa bersikap lebih dewasa dari ini. Aku menyesali
perlakuan kasarku terhadap kamu. Sedetik kemudian aku berlari mengejarmu. Aku
mencarimu untuk mengungkapkan betapa menyesalnya aku sudah bersikap kasar
seperti itu terhadapmu. Aku melakukan hal-hal yang bertentangan dengan isi hatiku
agar kamu tidak tahu bahwa aku masih menyimpan serpihan hati yang pernah kamu
titipkan padaku.
Dengan menggunakan kemeja putih sebatas paha yang lengan panjangnya tergulung
hingga sebatas siku. Dengan rambut yang mulai terurai dari ikatannya. Dengan
tanpa alas kaki, aku tiba di stasiun. Tanpa mempedulikan penampilan dan tatapan
ingin tahu dari orang lain, aku terus mencarimu. Saat itu rasanya takut sekali.
Aku takut tidak bisa lagi melihatmu. Aku mulai teriak dan menangis disaat yang
bersamaan. Aku berteriak menyerukan namamu. Dengan tidak putus asa, aku
terus mencari. Kamu masih tak juga tampak batang hidungnya. Keringat dan air
mataku berbaur menjadi satu. Aku lelah. Aku menyerah dan pasrah. Sudah tak
sanggup lagi berjalan, aku menjatuhkan diriku di jalan yang penuh sesak dengan
manusia lainnya, menangis meraung merasakan sesak di dadaku sambil terus
meneriakan namamu. Orang-orang menatapku dengan iba tapi tak ada satupun dari
mereka yang berusaha menolongku.
Setelah lama. Setelah aku sudah sangat lelah, tiba-tiba aku melihatmu berdiri
di hadapanku. Cepat-cepat aku menghapus air mataku, aku bangun dan berusaha
merapikan diriku agar tetap terlihat baik dihadapanmu. Aku mengendalikan tangisku
dengan penuh perjuangan. Kamu menatapku dengan tatapan kasihan. Egoku masih
sempat berkata bahwa aku tidak butuh dikasihani. Tapi saat itu melihat diriku
yang seperti itu, aku merasa sungguh sangat kasihan untuk diriku sendiri. Tanpa
membuang waktu, aku berlari dan melemparkan diriku dalam pelukanmu. Aku memelukmu
dengan sangat erat. Tak ada kata yang terucap. Kamu membalas pelukanku dengan
hangat. Masih tanpa berkata-kata. Seolah pelukan itu sendiri sudah
mengungkapkan banyak kata yang ingin diucapkan. Ada janji tak terucap dalam
pelukan hangat itu. Aku ingin waktu berhenti disitu agar selamanya aku bisa
memelukmu. Setelah lama, kamu melepaskan aku, kamu genggam erat tanganku
dan kamu cium keningku, dan masih dengan tersenyum, kamu pergi meninggalkan aku.
Lagi. Aku hanya bisa memandang kepergianmu. Dan menyaksikan perlahan-lahan
kereta yang membawamu pergi dari hadapanku. Aku masih berdiri lama disana.
Masih tidak mempedulikan angin yang semakin mengusutkan rambut Aku. Masih tidak
peduli dengan tatapan orang-orang. Tidak peduli dengan tangis kencang seorang
anak kecil yang terjatuh. Tidak mempedulikan hingar bingar suara pedagang yang
menjajakan dagangannya. Namun kali ini hati ku terasa hangat sekali. Tidak ada
kesedihan yang kurasakan lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk pulang. Aku tidak
sendirian kali ini, aku berjalan pulang bersama pelukanmu, tatapanmu dan senyummu.
Itu sudah cukup. Hal itu membuatku kembali tersenyum. Hal itu membuatku semangat
lagi dan merasa siap untuk terus menjalani hidupku :)